Kamis, 20 Mei 2010

Babel


Selain 21 Grams dan amores peros, babel adalah film bergaya non linier besutan Alejandro Gonzales Innaritu, salah satu sutradara favorit saya. Seperti yang telah diperlihatkannya di 2 filmnya terdahulu, masing – masing Amores Perros dan 21 Grams, Inarritu pintar mengemas berbagai isu dalam sebuah pigura. Dan menjadi sangat menarik karena ia bisa mengemas isu – isu tersebut dengan sama baik.

Dalam Babel, Inarritu bercerita banyak hal. Selain cerita tentang nasib dan takdir, tema besarnya adalah tentang kesenjangan komunikasi. Dan cerita dirangkai Guillermo Arriaga yang melibatkan manusia – manusia di 3 benua : ada pasangan suami istri, Richard Jones (Brad Pitt) dan Susan (Cate Blanchett) yang sedang berlibur di Maroko, ada pula kisah anak – bapak, Chieko (Rinko Kikuchi) dan Yasujiro (Koji Yakusho) di Jepang, dan dua anak pasangan Jones, Mike (Nathan Gamble) dan Debbie (Elle Fanning) bersama pengasuhnya, Amelia (Adriana Barraza) di Amerika. Jika di Amores Perros, cerita dipertautkan oleh seekor anjing, maka di Babel, senjata-lah yang menjadi “kendaraan” cerita.

Bayangkan ini. Sebuah senjata yang tak sengaja mengenai Susan, membuat kehidupan Amelia dan Chieko berubah. Susan yang merasa hubungannya dengan suaminya tidak harmonis, tak merasa nyaman ketika berada di Maroko. Benar saja, ketika berada di dalam sebuah bus berisi turis lainnya, ia terkena peluru nyasar. Ternyata peluru itu berasal dari senjata milik seorang pertenak, yang dihadiahkan oleh Yasujiro. Dan karena tragedi yang menimpa Susan, Amelia pun mau tak mau harus membawa kedua anak yang diasuhnya menuju Mexico, tempat diadakannya pesta perkawinan putranya.

Cerita paralel model begini memang sudah tak aneh lagi. Film pemenang Oscar tahun lalu, Crash juga datang dengan style seperti itu. Namun Inarritu selalu punya garis tegas yang mengukuhkan kedudukannya sebagai sutradara dengan visi berbeda. Dan tak sekedar berbeda, ia menjadikannya sebagai ciri khas. Saya terkesima melihat betapa cerita sesederhana ini punya banyak kemungkinan. Untuk tragedi di Maroko, sempat – sempatnya dimasukkan isu seputar teroris. Dan menjadi menarik karena keberpihakan Inarritu pada beragam stigma yang sering salah alamat ditujukan pada kaum muslim. Sementara untuk cerita bersetting Amerika, Inarritu menyoal masalah imigran gelap yang menjadi PR bertahun – tahun bagi negara itu. Dan ketika membicarakan problematik ayah dan anak di Jepang, ia menyentil pula isu seputar seksualitas.

Dari ketiga cerita itu, yang paling menarik perhatian saya adalah kisah Chieko. Dengan menggambarkan dara manis ini sebagai penyandang bisu-tuli, Inarritu bisa membuat treatment yang sungguh menggetarkan. Ia bisa sejenak menghilangkan kebisingan suara dari layar, sekedar untuk memperlihatkan bahwa ia bercerita dari sudut pandang Chieko. Meski mungkin ada penonton yang tak mengerti (dan mengira bahwa itu adalah kesalahan teknis), tapi ini adalah visi mengagumkan yang ditawarkannya. Dan karenanya, kita pun dengan gampang iba pada “kesepian” yang dirasakan Chieko.

Sepintas, Babel terlihat sebagai film “berat” karena memuat persoalan berlapis – lapis. Namun saya berani bilang bahwa sejauh ini, Babel adalah karya Inarritu yang paling audience-friendly. Tak sulit untuk mengikuti tiga kisah menggetarkan ini. Seorang teman saya yang sekarang filmmaker (dulunya adalah seorang film reviewer) menganggap bahwa karya Inarritu kali ini terlalu berlebihan. Ia merasa bahwa Inarritu memaksakan problem yang sebenarnya tak kontekstual dengan setting cerita. Saya tak setuju dengan pendapatnya, karena saya merasa bahwa Babel nyaris sempurna dalam berbagai aspeknya. Dan Anda, pembaca yang terhormat, pun boleh tak setuju dengan opini saya. Tapi coba dengar apa kata hati Anda ketika usai menonton film ini. Apakah Anda tersentuh atau malah tak merasakan apapun ?
.::Artikel Menarik Lainnya::.

1 komentar:

  1. saya agaknya sependapat dengan anda. dengan tema serupa, film ini bahkan lebih baik ketimbang "Crash" (2005) yang sukses menggondol Oscar.

    BalasHapus

 

blogger templates | Make Money Online