Kalau mau jujur sebenarnya ada 2 faktor yang mendorong saya untuk menonton film ini, yaitu kate winslet dan kevin spacey, keduanya adalah aktor favorit saya.
Ketika menonton sebuah film, penonton disarankan untuk melakukannya lebih dari sekali. Pertama, untuk memuaskan keingintahuan tentang kisahnya dan berikutnya, untuk melakukan analisis. Yang terakhir biasanya dilakukan oleh orang – orang yang berkepentingan atas sebuah karya sinema, misalnya kritikus. Begitupun, hasil akhir penilaian bisa jadi sangat tak terduga. Lord of The Rings : Return of The King diapresiasi dengan baik oleh nyaris semua kritikus hebat, utamanya di Amerika. Karenanya jangan heran jika trilogi akhir dari karangan J.R Tolkien ini dinobatkan sebagai film terbaik berbagai pemberi penghargaan. Tapi lain cerita dengan Titanic, yang melesat hebat di box office dan dicibir sebagian orang ketika dipilih sebagai Film Terbaik. Banyak yang bilang, bahwa Titanic tak lebih dari “sebuah kisah nyata dengan bumbu percintaan”. Tak lebih !
Tapi disitulah ditemukan keunikan atas pengamatan karya sinema. Bagaimanapun, penilaian tersebut sangatlah obyektif. Jadi jangan buru – buru menghakimi atau justru terlalu gandrung sebelum membuktikannya sendiri. Kasus ini baiknya juga diterapkan pada film kesekian karya Alan Parker, The Life of David Gale. Publik terbelah menjadi dua kutub yang berlawanan sebagai reaksi atas penilaian kritikus. Sebagian kritikus menganggap kisah ini punya banyak kelemahan disana – sini, tapi tak kurang banyak juga yang sepakat bahwa film ini bisa disejajarkan dengan Dead Man Walking, yang sama – sama mengusung isu hukuman mati.
Kontroversi The Life of David Gale tak hanya pada penilaian, tapi juga pada ceritanya sendiri. David Gale (Kevin Spacey) dituduh membunuh rekan kerjanya di LSM Deatwatch, Constance Holloway (Laura Linney). Tak pelak ia dijatuhi hukuman mati. Sangat ironis, mengingat dia termasuk pejuang yang menuntut agar hukuman mati ditiadakan. Empat hari menjelang kematiannya, ia mengontak Bitsey Bloom (Kate Winslet), jurnalis dari News Magazine untuk membantunya mengungkap kejadian sebenarnya. Tugas yang maha berat, terlebih awalnya Bitsey sudah mencap David bersalah dalam kasus ini. Namun makin ke belakang, Bitsey menemukan berbagai fakta yang mendukung kegigihan David untuk membuktikan bahwa pemerintah menghukum orang yang tidak bersalah. Dan ia harus melakukan segala sesuatunya dengan cepat sebelum semuanya terlambat.
Nah, mari kita telusuri kisah berdurasi 2 jam ini. Sejujurnya, sejak layar tersibak, The Life of David Gale mengalir dengan lancar. Sangat lancar malahan. Adegannya padat, diimbuhi musik yang mendukung tak pelak lagi menggiring penonton pada keingintahuan besar penonton yang akan terjawab di akhir : benarkah David Gale bersalah ? Ditingkahi intercut yang “memotong” kisah yang berjalan masa kini dan masa lalu membuat penonton awam pun bisa dengan mudah mengikutinya. “Keberhasilan” ini sebagian besar tentunya ditunjang skenario karya Charles Rudolph. Tak perlu takut tertinggal barang sekejap, karena toh di menit – menit berikutnya, Parker terus “menabur” jejak demi jejak yang mengarahkan penonton pada kesimpulan masing – masing. Ya, Parker membiarkan penonton berimajinasi sebebas mungkin, berusaha bermain sebagai detektif dengan mengumpulkan bukti – bukti yang tercecer disana – sini. Begitupun, jangan jadi penonton serba tahu. Parker membuat The Life of David Gale punya dua “klimaks”. Bukan main !
Kisah The Life of David Gale sangat menarik untuk diikuti, bahkan oleh penonton mainstream. Memang nyaris tak perlu mengerutkan kening ketika menonton film ini. Cukup duduk tenang dan nikmati filmnya hingga lampu bioskop menyala kembali. Tapi nikmati pula kejutan – kejutan “menyenangkan” yang dihadirkan Parker, juga deretan fakta mengejutkan yang akan tersibak seluruhnya di akhir kisah. Yang unik, Parker mengulang adegan awal pada 15 menit akhir film. Yakni, adegan ketika mobil Bitsey mogok dan membuatnya harus berlari sepanjang jalan raya. Tentu ada alasannya, yakni menambah dramatis kisah secara keseluruhan.
“Kejutan” lain yang ditampilkan Parker terletak pada faktor Kevin Spacey. Siapapun tahu aktor ini mahir berakting, sudah merenggut 2 Oscar pula, lengkap untuk Aktor Terbaik (American Beauty) dan Aktor Pendukung Terbaik (The Usual Suspect). Sayangnya, disini peran David Gale dimainkan Spacey tak “seenergetik” biasanya. Yang terbiasa menonton aksinya, mungkin akan sulit mengidentifikasi Spacey sebagai David Gale di film ini. Sebabnya, karena Spacey bermain datar, ekspresinya nyaris tak beda dengan yang ditampilkannya di American Beauty. Padahal, karakternya disini sungguh kompleks. Ia profesor filsafat, aktivis penentang hukuman mati dan suami yang “dikhianati” istrinya sendiri. Jadi peran apa lagi yang bisa sekompleks ini ?
Yang mengejutkan justru Laura Linney yang bermain, well sangat baik. Ia bisa larut dalam karakternya yang aktivis pejuang penghapusan hukuman mati yang justru melakukan tindakan sebaliknya (percayalah, Anda akan bisa mengerti setelah menonton film ini). Begitupun, justru dari karakternya yang kontradiktif-lah penonton bias bercermin. Memahami sistem peradilan manusia yang kadang tak benar, dan menuntun penonton untuk mempertanyakan arti kebenaran itu sendiri.
Tapi disitulah ditemukan keunikan atas pengamatan karya sinema. Bagaimanapun, penilaian tersebut sangatlah obyektif. Jadi jangan buru – buru menghakimi atau justru terlalu gandrung sebelum membuktikannya sendiri. Kasus ini baiknya juga diterapkan pada film kesekian karya Alan Parker, The Life of David Gale. Publik terbelah menjadi dua kutub yang berlawanan sebagai reaksi atas penilaian kritikus. Sebagian kritikus menganggap kisah ini punya banyak kelemahan disana – sini, tapi tak kurang banyak juga yang sepakat bahwa film ini bisa disejajarkan dengan Dead Man Walking, yang sama – sama mengusung isu hukuman mati.
Kontroversi The Life of David Gale tak hanya pada penilaian, tapi juga pada ceritanya sendiri. David Gale (Kevin Spacey) dituduh membunuh rekan kerjanya di LSM Deatwatch, Constance Holloway (Laura Linney). Tak pelak ia dijatuhi hukuman mati. Sangat ironis, mengingat dia termasuk pejuang yang menuntut agar hukuman mati ditiadakan. Empat hari menjelang kematiannya, ia mengontak Bitsey Bloom (Kate Winslet), jurnalis dari News Magazine untuk membantunya mengungkap kejadian sebenarnya. Tugas yang maha berat, terlebih awalnya Bitsey sudah mencap David bersalah dalam kasus ini. Namun makin ke belakang, Bitsey menemukan berbagai fakta yang mendukung kegigihan David untuk membuktikan bahwa pemerintah menghukum orang yang tidak bersalah. Dan ia harus melakukan segala sesuatunya dengan cepat sebelum semuanya terlambat.
Nah, mari kita telusuri kisah berdurasi 2 jam ini. Sejujurnya, sejak layar tersibak, The Life of David Gale mengalir dengan lancar. Sangat lancar malahan. Adegannya padat, diimbuhi musik yang mendukung tak pelak lagi menggiring penonton pada keingintahuan besar penonton yang akan terjawab di akhir : benarkah David Gale bersalah ? Ditingkahi intercut yang “memotong” kisah yang berjalan masa kini dan masa lalu membuat penonton awam pun bisa dengan mudah mengikutinya. “Keberhasilan” ini sebagian besar tentunya ditunjang skenario karya Charles Rudolph. Tak perlu takut tertinggal barang sekejap, karena toh di menit – menit berikutnya, Parker terus “menabur” jejak demi jejak yang mengarahkan penonton pada kesimpulan masing – masing. Ya, Parker membiarkan penonton berimajinasi sebebas mungkin, berusaha bermain sebagai detektif dengan mengumpulkan bukti – bukti yang tercecer disana – sini. Begitupun, jangan jadi penonton serba tahu. Parker membuat The Life of David Gale punya dua “klimaks”. Bukan main !
Kisah The Life of David Gale sangat menarik untuk diikuti, bahkan oleh penonton mainstream. Memang nyaris tak perlu mengerutkan kening ketika menonton film ini. Cukup duduk tenang dan nikmati filmnya hingga lampu bioskop menyala kembali. Tapi nikmati pula kejutan – kejutan “menyenangkan” yang dihadirkan Parker, juga deretan fakta mengejutkan yang akan tersibak seluruhnya di akhir kisah. Yang unik, Parker mengulang adegan awal pada 15 menit akhir film. Yakni, adegan ketika mobil Bitsey mogok dan membuatnya harus berlari sepanjang jalan raya. Tentu ada alasannya, yakni menambah dramatis kisah secara keseluruhan.
“Kejutan” lain yang ditampilkan Parker terletak pada faktor Kevin Spacey. Siapapun tahu aktor ini mahir berakting, sudah merenggut 2 Oscar pula, lengkap untuk Aktor Terbaik (American Beauty) dan Aktor Pendukung Terbaik (The Usual Suspect). Sayangnya, disini peran David Gale dimainkan Spacey tak “seenergetik” biasanya. Yang terbiasa menonton aksinya, mungkin akan sulit mengidentifikasi Spacey sebagai David Gale di film ini. Sebabnya, karena Spacey bermain datar, ekspresinya nyaris tak beda dengan yang ditampilkannya di American Beauty. Padahal, karakternya disini sungguh kompleks. Ia profesor filsafat, aktivis penentang hukuman mati dan suami yang “dikhianati” istrinya sendiri. Jadi peran apa lagi yang bisa sekompleks ini ?
Yang mengejutkan justru Laura Linney yang bermain, well sangat baik. Ia bisa larut dalam karakternya yang aktivis pejuang penghapusan hukuman mati yang justru melakukan tindakan sebaliknya (percayalah, Anda akan bisa mengerti setelah menonton film ini). Begitupun, justru dari karakternya yang kontradiktif-lah penonton bias bercermin. Memahami sistem peradilan manusia yang kadang tak benar, dan menuntun penonton untuk mempertanyakan arti kebenaran itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar