Kamis, 20 Mei 2010

The Shape Of Things

Filsafat adalah ilmu utama yang masih terus dipelajari dengan sungguh – sungguh karena kompleksitas untuk memahaminya. Butuh pemikiran yang lebih dari sekedar “normal” buat memahami segala bentuk perilaku manusia atau apa yang terjadi di sekelilingnya. Sedikit banyak, ilmu psikologi bertalian erat dengannya. Pendapat ini tentu boleh disanggah siapapun, karena sifatnya sangat subyektif. Seperti ketika kita memperlakukan The Shape of Things sebagai hiburan semata, maka komentar bernada negatif yang mungkin akan kita keluarkan. Terlalu teatrikal, terlalu filosofis, membosankan… sangat boleh jadi komentar seperti itu yang keluar dari mulut penonton kebanyakan. Tapi penonton yang menelaah The Shape of Things dari sudut pandang keilmuan, katakanlah dari sisi ilmu psikologi, maka karya kesekian Neil LaBute ini akan beroleh acungan jempol dan aplaus panjang demi menandai kualitasnya. Cara pandang seperti ini yang sangat diperlukan sebelum memirsa film yang dibintangi Paul Rudd dan Rachel Weisz ini. Apapun hasilnya, pasti sangat subyektif.

Kutipan kalimat dari buku berjudul One Dimensional Man karangan Herbert Marcuse yang berbunyi sebagai berikut, “Whether or not the possibility of doing or leaving, enjoying or destroying, possessing or rejecting something is seized as a 'need' depends on whether or not it can be seen as desirable & necessary for the prevailing societal institutions & interests” sangat pantas dipakai sebagai pijakan buat memahami kompleksitas film ini. Apa boleh buat, sesuatu yang dinilai terlalu “berat” atau terlalu “sulit dicerna” pantas ditempelkan pada The Shape of Things. Karena film ini ingin mengobrolkan persoalan dalam diri manusia, dalam artian literal. Ya, masalah eksistensi diri misalnya hingga subyektifitas. Anda lihat, seberapa bagus atau seberapa buruk sesuatu tergantung dari sudut pandang mana Anda melihatnya. Contoh paling simpel ketika Inul mulai menanjak, yang pro dan kontra dengannya nyaris sama banyak. Yang pro menganggap goyangan Inul hanyalah sebuah ekspresi, aktualisasi diri atau apapun itu. Di kutub yang berlainan, dengan ekstrim mencela goyangan Inul tak patut, tak layak dikonsumsi massal dan menodai citra musik dangdut. Disini bukan masalah siapa yang benar dan siapa yang salah yang patut dipertanyakan, tapi masalah dari sudut pandang mana Anda melihatnya.

Lihatlah Evelyn (Rachel Weisz) yang memandang subyektifitas sebagai bagian dari eksistensi diri dan dinilainya sebagai sesuatu yang maha penting. Saking pentingnya, isu ini diangkat Evelyn menjadi tesisnya dengan niat membenarkan hipotesa yang telah disusunnya. Evelyn tak peduli dengan segala sesuatu, termasuk mengorbankan perasaannya sendiri. Cewek ini termasuk jenis mahasiswa yang sadar betul akan kebebasan berekspresi dan ingin membuktikan pada setiap orang bahwa tidak ada masalah dengan perbedaan. Difference is good. Itu sepenuhnya betul, tapi mungkin kita bisa geleng – geleng kepala dengan caranya yang sungguh ekstrim demi pembuktian tesisnya. Ia bisa dan secara sadar menggunakan apa yang dipunyainya, termasuk daya tarik seksual, untuk memanipulasi siapapun. Seks digunakannya sebagai senjata politis demi meraih apa yang diinginkannya. Sampai disini, penonton mungkin sangat terusik. Tapi perlu waktu lebih lama dan suasana lebih tenang untuk merenungkan makna hakiki film ini. Bagaimanapun, The Shape of Things berhasil mengusik perasaan terdalam yang dipunyai manusia. Menerobos segala macam norma atau apapun yang dijejalkan ke kepala kita sejak lahir. Mencoba untuk memerdekakan pikiran secara total untuk menilai sesuatu. Dan karenanya, nilailah The Shape of Things dengan lebih cermat sebelum menyematkan predikat baik atau buruk padanya.

Yang jelas, The Shape of Things adalah film yang luar biasa unik. Keunikannya sebenarnya sudah tergambar dari cara bagaimana film ini menjadi sebuah film. Awalnya, The Shape of Things adalah naskah teater yang dimainkan di panggung Off Broadway tak kurang dari 4 bulan. Gendengnya, dengan pemain yang sama plus naskah yang nyaris plek sama pula (termasuk susunan scene by scene) maka The Shape of Things menjelma menjadi film yang kentara betul aroma teatrikalnya. Yang terbiasa menonton pertunjukan teater, pasti merasakan pekatnya nuansa teater didalamnya. Dan dengan atmosfer yang sama sekali beda, The Shape of Things sangat berpotensi menjadi tontonan nan menjemukan dan sepi. Bayangkan, sebuah film dengan durasi lebih dari 90 menit, dengan dialog yang tumpang tindih yang hanya diucapkan 4 pemain. Wah, sangat mengerikan kalau sampai itu benar – benar terjadi. Tapi The Shape of Things bisa diselamatkan oleh, terutama performa para pemainnya. Weisz yang kadang masih dianggap “artis cantik yang tak paham betul dasar akting” mampu membuktikan bahwa ia pun bisa sehebat Nicole Kidman di The Hours. Mungkin, lebih hebat malahan. Ia bisa menampilkan sosok wanita yang teramat pandai memanipulasi seseorang, dan disaat yang lain adalah sosok yang merasa bebas mengekpresikan apapun. Catat, apapun ! Rudd yang menemani Weisz tak kalah hebat. Ketidak-konsistensi-an perannya disini adalah buah dari perwatakan karakter yang dilakoninya. Cobalah perhatikan beberapa adegan dimana kentara betul tokoh Adam yang dimainkannya terlihat bingung bersikap. Ia tak terlalu yakin dengan dirinya, sehingga mau saja dipermak.

Yang mungkin akan terasa kurang ‘mengenakkan” dari The Shape of Things adalah efek yang ditimbulkannya. Benarkah apa yang dianggap salah memang salah dan sebaliknya ? Bagaimana menilai sebuah perkara dari sudut pandang benar atau salah ? Kalau pikiran seperti ini terus mengganggu selepas nonton film ini, berarti LaBute yang menyutradarai dan menulis sendiri skenario The Shape of Things berhasil memperdaya Anda !

.::Artikel Menarik Lainnya::.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

blogger templates | Make Money Online