Kamis, 20 Mei 2010

Gangs Of New York


Martin Scorsese diakui dunia berkat karya – karyanya yang fenomenal, mulai dari Taxi Driver, Raging Bull atau Mean Streets. Ciri dari sebagian besar karyanya adalah kekerasan. Untuk yang satu ini, Scorsese memang tak segan mengumbarnya secara vulgar. Demi alasan realisme bisa jadi. Tapi tak semua orang memang menyukai karya – karyanya yang bersimbah darah, penuh dialog sumpah serapah dan adegan seks eksplisit. Ini juga yang menjadi salah satu kelebihan Scorsese : memecah belah opini publik. Untuk Gangs of New York saja, Scorsese harus menerima review dengan beragam penilaian. Majalah Rolling Stone mengomentari Gangs of New York sebagai berikut, “something better than perfect : It's thrillingly alive” dan memberinya A.

Tapi jangan pula mengira Scorsese tak paham “membongkar” kehalusan hati manusia. Di tahun 1973, Scorsese menelurkan karyanya Alice Doesn’t Live Here Anymore. Siapapun mungkin tak menyangka, Scorsese ternyata bisa juga menuturkan sosok perempuan tangguh tanpa tergagap sedikitpun. Dan 20 tahun berselang, publik lagi – lagi dibuatnya tercengang dengan karya The Age of Innocence.

“Kontradiksi” itu pula yang dihadirkan Scorsese dalam Gangs of New York. Menawarkan pemahaman akan kota New York di masa lalu. Skenario yang disusun Jay Cocks, Steven Zallian dan Kenneth Lonergon berdasar buku non fiksi sejarah karangan Herbert Asbury membantu Scorsese mencoba meyakinkan penonton. Di tangan ketiganya, Gangs of New York juga ingin bercerita tentang seorang pemuda bernama Amsterdam Vallon (Leonardo DiCaprio). Paralel dengan perkembangan New York bersetting tahun 1846, demikian pula dengan Amsterdam yang sedang tumbuh menjadi pria dewasa. Ia yang sedari kecil ditinggal ayahnya kembali untuk balas dendam. Ia ingin menuntaskan “perang yang tak selesai” antara ayahnya dengan William “The Butcher” Cutting (dimainkan dengan sangat menarik oleh Daniel Day Lewis). Disusunnya strategi termasuk mencoba menyusup ke kelompok The Butcher yang tak mengenalnya. Sungguh sayang, akibat pengkhianatan seorang sahabatnya, identitas Amsterdam yang sebenarnya diketahui The Butcher. Pria yang digambarkan sangat kejam inipun menyiksa Amsterdam. Didorong dendam kesumat plus keinginan membebaskan rakyat dari kesengsaraan, Amsterdam bersatu padu dengan imigran Irlandia lainnya untuk meruntuhkan dominasi The Butcher. Disaat bersamaan, pecah pula perang dimana – mana yang merongrong eksistensi kota New York. Kota yang sedang berkembang ini akhirnya kembali dilanda huru – hara.

Sesederhana itukah Gangs of New York ? Oh tidak, karena tak mungkin Scorsese mengabiskan waktu hingga 167 menit untuk merekonstruksi kisah perang semata. Maka karya kesekian Scorsese inipun menyelipkan jalinan asmara antara Amsterdam dengan pencopet wanita bernama Jenny Everdeane (Cameron Diaz). Adegan panas keduanya lumayan “membakar” layar namun tak cukup meyakinkan penonton mengapa Jenny bertekuk lutut begitu saja pada Amsterdam. Rupanya Scorsese lebih berpihak pada hiruk pikuk peperangan dibanding memberi ruang lebih bagi romantika Amsterdam – Jenny. Pilihan yang sesungguhnya tepat karena salah sedikit, bisa – bisa Scorsese dicemooh karena terlalu banyak menampilkan fiksi diantara kisah sejarah sehingga berpeluang besar mengaburkannya.

Dan seperti biasa, Scorsese memberikan a study of character. Disini bisa terlihat pada sosok Amsterdam yang “dikarbit” menjadi pria dewasa oleh keadaan. Dan makin meyakinkan karena Scorsese menyandingkannya dengan Daniel Day Lewis. Lihatlah perbedaan fisikal keduanya. DiCaprio yang terlihat masih sangat “segar” berduel dengan Day Lewis yang mulai diganggu kerut – kerut halus. Bukankah ini menarik ? Celakanya, karena digarap 3 orang dengan 3 pikiran yang berbeda – beda (sayang juga Scorsese tak turun tangan langsung menangani skenarionya) maka Gangs of New York jadi seperti kebingungan menentukan arah, harus berfokus dimana. Di satu sisi Gangs of New York ingin dikenang sebagai epik yang spektakuler, disisi lain Scorsese juga ingin menjadikannya a study of character yang menarik.

Paling tidak, Gangs of New York bisa membanggakan Daniel Day Lewis yang tampil sangat mempesona dari menit awal. Siapapun pasti akan geram melihat tingkahnya sebagai Bill “The Butcher” yang main bunuh seenaknya. Dan Day Lewis sama sekali tak memperlihatkan akting eksternal peran antagonis seperti mendengus, mencibir, mengumpat yang berlebihan. Dan hasilnya…wuah penghargaan yang bukan main banyaknya. Tak kurang 8 penghargaan dari berbagai ajang diterimanya dalam setahun. Prestasi yang lebih dari membanggakan !

.::Artikel Menarik Lainnya::.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

blogger templates | Make Money Online