Jumat, 21 Mei 2010

Into The Wild


Ada sesuatu dalam setiap film bergenre road movie yang membuat penontonnya bertahan di kursi bioskop. Tak lain adalah degup demi menanti perjalanan yang akan dilalui sang tokoh utama sepanjang film. Into The Wild tak sekedar road movie, tapi juga mencampurnya dengan beragam isu, mulai dari anti kapitalisme hingga perjuangan manusia untuk menyatu dengan alam.

Tapi tak lantas Into The Wild menjadi film yang self-importance. Sean Penn yang menulis skrip untuk ketiga kali sekaligus duduk di kursi sutradara untuk kelima kalinya pandai memilih sudut pandang. Walau fokus film pada Chris McCandless, film ini dituturkan oleh adik Chris, Carine (Jena Malone). Dengan segala upaya pula, Chris dibuat Penn (selayaknya dalam bukunya) menjadi sosok yang dimengerti oleh penonton. Tentang kemarahannya pada orang tua dan lingkungannya membuat upayanya untuk menempuh perjalanan panjang menjadi penting.

Perjalanan itu dibagi menjadi 5 babak, yang juga menggambarkan perkembangan kejiwaan Chris. Mulai dari kelahirannya kembali hingga saatnya ia untuk menyerap sikap bijaksana dari seseorang yang ditemuinya dalam perjalanan. Selain dibuai dengan sinematografi nan menyegarkan mata dari Eric Gautier, kita pun dibuat merenung sepanjang perjalanan yang dilalui Chris. Akankah ia mendapatkan apa yang dicarinya ?

McCandless adalah Penn. Ada sesuatu yang rebellious pada diri keduanya. Dan mungkin ini pula yang membuat Penn tertarik untuk mengangkat Into The Wild ke layar lebar. Film seperti ini memang harus dibuat oleh seseorang yang punya sisi liar sekaligus gelap, dan kualitas itu dipunyai Penn. Dan dari sekian film yang telah dibuatnya, ini adalah pencapaian paling membanggakan sepanjang karirnya. Tak mudah membuat film dengan tokoh yang kompleks seperti McCandless untuk tak jatuh menjadi film yang akhirnya mengagung – agungkan tokoh utamanya. McCandless adalah manusia biasa, bukan superhero yang bisa menaklukkan segala rintangan apapun yang menghadangnya ketika berada di tengah alam bebas yang kadang – kadang buas. Penn dengan santai memperlihatkan beberapa kebodohan yang dilakukan McCandless dan sekaligus dibuat terhenyak dengan penyikapan demi penyikapannya akan berbagai hal yang dicatatnya dengan rapi.

Film ini mungkin hanya terasa akan sangat panjang dan seperti khotbah bagi mereka yang tak bisa memahami mengapa McCandless melakukan perjalanan itu. Sebenarnya perjalanan itu tak hanya didorong oleh keinginan hidup di alam raya nan luas, namun juga dipicu oleh keinginan McCandless untuk mencari jati dirinya sendiri. Meski harus melalui episode demi episode yang terkadang perih, ia dengan berani mengakui satu hal : bahwa kebahagiaan menjadi semu jika tak ada seseorang untuk dibagi.

Dan Into The Wild sampai pada akhir cerita. Kita, penonton, dibuat terdiam beberapa saat setelah ending title muncul di layar. Menyesakkan melihat McCandless akhirnya berakhir dengan cara seperti itu. Tapi kita pun dibuat kagum dengan sikapnya yang konsisten, dan untuk itu kita, penonton, menaruh hormat.

Hormat juga harus dilontarkan tak hanya pada Penn dan pada skrip yang luar biasa, juga pada ensemble cast yang bermain outstanding. Hirsch yang mulai populer berkat sukses film “ringan” seperti The Girl Next Door, menunjukkan kematangan akting dan pengorbanan luar biasa besar untuk penampilannya kali ini. Juga pada Catherine Keener dan aktor senior Hal Holbrook yang tampil mengagumkan di paruh akhir cerita.
Di zaman yang makin mengagungkan materi seperti sekarang, rasanya kita butuh kemunculan McCandless – McCandless baru.
.::Artikel Menarik Lainnya::.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

blogger templates | Make Money Online