Kamis, 20 Mei 2010

Crash

Jika di Indonesia, kita masih tak berani bermain dengan isu – isu tabu dan berat, seperti SARA, maka di Hollywood, isu tersebut tak haram untuk disentuh. Menariknya, karena isu seperti rasialisme, masih bisa diangkat menjadi sesuatu yang menarik. Tak hanya menggetarkan nurani, tapi juga berpretensi memberikan hiburan, terutama bagi batin.

Hollywood pernah menelurkan film bertema rasial, kebanyakan menyorot sistem kelas bagi keturunan Afrika yang hidup di Amerika (Afro-Amerika). Mississippi Burning (Alan Parker) adalah salah satu film yang dengan sangat nyinyir menyorot pembedaan perlakuan antara kulit hitam dan kulit putih. Saking nyinyirnya, Parker sampai merasa perlu memasukkan adegan ketika seorang tokoh masyarakat berkulit putih berbicara di depan wartawan dengan kata – kata seperti ini, “ This is Anglo Saxon democracy in the American way.”

Tapi Crash tak perlu terjebak stereotipe seperti itu. Dan bukan berarti Crash tak kompleks, justru Crash jauh lebih kompleks dan ruwet. Paul Haggis yang menulis dan menyutradarai menyoal problematika rasial tak sebatas antara kalangan kulit hitam dan kulit putih. Lebih luas, Haggis membenturkan prasangka rasial antara kulit hitam dengan Latin, Latin dengan Asia, Latin dengan Timur Tengah dan kulit putih dengan Timur Tengah. Yang membuat saya merasa harus bertepuk tangan sambil berdiri untuk Crash bukan karena kompleksitas isu rasial yang ingin dikedepankan oleh Haggis, tapi karena caranya bertutur yang tak seperti mengkhotbah, tak menyalahkan siapa –siapa atas prasangka rasial yang sampai detik ini pun masih terjadi. Seperti Haggis, saya juga bakal bingung jika ditanya kenapa ada kerusuhan di Sampit, atau pengganyangan etnis Cina di Makassar. Kenapa itu bisa terjadi ? Kata sosiolog, jika dirunut alias ditinjau letak permasalahannya, ternyata itu semua berasal dari dosa masa lalu.

Crash membenturkan prasangka rasial dengan problema penting namun seringkali dianggap remeh temeh : harga diri. Ada Thandie Newton yang merasa dirinya teraniaya ketika harus “digerayangi” oleh polisi Matt Dillon. Padahal Newton tengah bersama suaminya. Problem yang terlihat sepele ini justru membuat rumah tangga mereka nyaris koyak karena Newton menganggap suaminya tak bisa membela harga dirinya dan harga diri suaminya sendiri. Atau Sandra Bullock yang sebelumnya merasa tak membeda – bedakan perlakuan terhadap seseorang berdasar warna kulit, tiba – tiba ditodong dua berandalan berkulit hitam. Banyak persoalan disodorkan Haggis hanya dalam waktu 105 menit, namun karena struktur ceritanya memikat dan ia tahu betul bagaimana memperlakukan ceritanya, maka Crash bisa terwujud menjadi sebuah kisah sederhana dengan isu besar. Bukan sebuah kisah besar dengan isu yang disederhanakan.

Saya juga dibuat kagum oleh jelinya Haggis memilih pemainnya satu demi satu. Sekumpulan bintang dipadukan disini dan semuanya bermain dalam porsi sama, tak ada yang lebih dari yang lain. Sandra Bullock yang superstar toh masih bisa berbagi layar dengan Brendan Fraser, Don Cheadle hingga Ryan Philippe. Ini talenta yang patut dicatat, mengingat tak banyak sutradara yang bisa memajang banyak bintang, namun bisa bermain dengan padu. Hanya beberapa judul seperti Magnolia, Nashville atau Shortcuts yang bisa menyamai ensemble cast yang dipunyai Haggis.

Yang paling penting dari semuanya, Crash menyadarkan saya akan satu hal : bahwa prasangka rasial masih terjadi sampai kini. Dan prasangka ini masih bertumbuh dalam masyarakat, berevolusi untuk kemudian meletup pada satu ketika. Padahal di negeri kita dari jaman SD sudah diajarkan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Tapi kenapa pula kita selalu merasa berbeda satu sama lain ?

.::Artikel Menarik Lainnya::.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

blogger templates | Make Money Online