Jumat, 21 Mei 2010

Little Miss Sunshine


Nadine Chandrawinata sakit hati. Ketika ia sedang berlaga di negeri orang di sebuah kontes prestisius, ia diberitakan berbagai media lokal. Tapi tak dalam konteks yang membanggakan. Kesilapannya menyebut “Indonesia is a beautiful city” berbuah celaan baginya. Tak peduli seberapa potensialnya gadis jangkung yang belum lagi genap 20 tahun itu, namun orang – orang hanya melihat sebuah “noda kecil” yang dibuatnya. Untunglah, Nadine tak patah arang. Ia maju terus dalam ajang Miss Universe, meski akhirnya tak menang.

Bagi saya, Nadine Chandrawinata adalah seorang pemenang. Ia bukan seorang pecundang yang tak berani mencoba sesuatu, hanya karena dikalahkan oleh ketakutan akan kekalahan. Kualitas semacam itu pula yang mungkin dilihat oleh Olive (Abigail Breslin dalam penampilan menyegarkan), bocah cilik yang bermimpi menenangkan kontes miss – miss an seperti itu. Dan mimpinya terkabulkan dalam waktu yang tak terlampau lama. Ia mendapat anugerah ketika didaulat mewakili wilayah tempatnya tinggal berlaga di ajang Little Miss Sunshine.

Oleh Michael Arndt yang menulis skenarionya, Little Miss Sunshine hanyalah sebuah event. Ia tak dijadikan sebagai sentral cerita. Ia tak menjadi sebuah parodi tentang kontes kecantikan serupa. Ia hanya menjadi bagian kecil dari sebuah cerita sederhana – tentang sebuah keluarga yang berada di ujung tanduk. Pasangan suami istri yang nyaris bangkrut, paman yang bunuh diri, kakek yang pemakai narkoba hingga kakak yang berhenti bicara atas kemauan sendiri. Tapi si kecil Olive toh tetap tumbuh dengan normal dalam keluarga seajaib itu.

Dan sekali lagi, apakah yang hendak dibicarakan Little Miss Sunshine ? Ternyata, bagian tentang keluarga disfungsional juga bukan inti cerita. Pasangan sutradara suami istri Jonathan Dayton – Valeri Faris justru ingin bicara tentang pecundang dan pemenang. Yes, sebuah problem yang sebenarnya agak mengawang – awang untuk dibicarakan dan rasanya agak abstrak untuk menjadi tema cerita. Karena pesan seperti demikian berpotensi membuat cerita menjadi “dakwah yang tak berujung”.

Bersyukurlah, Little Miss Sunshine tak berakhir menjadi seperti sinetron dengan embel – embel Ilahi yang tengah banyak wara – wiri di televisi kita. Ia justru tampil witty, cergas (mengambil istilah sebuah majalah mingguan) dan tak menceramahi penontonnya secara verbal (dengan dialog – dialog panjang yang membuat penonton sigap memindahkan saluran televisi). Dalam tempo 100 menit, kita diajak menikmati serangkaian peristiwa yang terjadi dalam waktu berdekatan. Si kecil Olive yang bertarung di California didukung penuh oleh keluarganya. Maka bermobillah keluarga nyentrik ini menempuh ratusan mil. Pun belakangan mereka menyadari bahwa Olive tak harus mengikuti kontes tersebut hanya untuk membuktikan dirinya sebagai pemenang. Toh ia, seperti halnya Nadine, sudah jadi pemenang ketika berani mempertaruhkan diri berlaga dengan kompetitornya disana. Si kecil manis berkacamata ini rupanya tahu (meski mungkin tak paham artinya) rasanya jadi pecundang. Lewat sebuah adegan mengharukan, ia menangis sesenggukan di depan kakeknya (diperankan Alan Arkin yang tampil luar biasa mengkilap). “ My dad hates a loser , “ ujarnya sambil menyeka matanya.

Anak sekecil itu pun bisa tahu (meski sekali lagi, tak mudah baginya menjelaskannya dalam kata – kata) beda pecundang dari pemenang. Bahwa pecundang tak berani mengambil resiko karena takut akan kekalahan. Dan pemenang berani mengambil resiko itu dan berjiwa besar ketika pada akhirnya ia gagal. Tapi toh ia telah berani mencoba dan di titik itulah yang membedakan dirinya dari pecundang. Coba tanyakan ke diri kita masing – masing – apakah kita pecundang atau pemenang ?
.::Artikel Menarik Lainnya::.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

blogger templates | Make Money Online